Skandal Agraria Deliserdang: 8.077 Hektare HGU PTPN2 Diduga Dicaplok Ciputra, Rakyat Jadi Penonton di Tanah Sendiri”
Deliserdang, NOKTAH SUMUT.COM –
Skandal agraria terbesar di Sumut kembali mencuat. Fakta mencengangkan terungkap: 8.077,76 hektare lahan Hak Guna Usaha (HGU) PTPN2 di Kabupaten Deliserdang diduga sudah berpindah kendali ke PT. Ciputra. Sepuluh titik strategis berubah status, sementara rakyat hanya bisa menatap dari luar pagar, terpinggirkan di tanahnya sendiri.
Risalah resmi mencatat penguasaan itu melibatkan PTPN2, Ciputra, Badan Pertanahan Nasional (BPN), Pemkab Deliserdang, PT. Nusa Dua Propertindo (anak usaha PTPN2), serta PT. Karya Panca Sakti Nugraha (KPSN) sebagai perusahaan KSO Ciputra.
Namun, di balik angka fantastis itu, aroma penyalahgunaan wewenang tercium busuk. Kejaksaan Tinggi Sumut tengah mengusut pengalihan HGU 111 seluas 6,8 hektare di Desa Helvetia, Labuhan Deli—lahan yang kini berdiri Citraland Kota Deli Megapolitan.
Dokumen penyelidikan yang merujuk Surat Perintah Kajati Sumut Nomor Print-03/L.2/Fd.1/02/2022 menegaskan: 6,8 hektare hanyalah “kunci kecil” untuk membuka pintu ribuan hektare lainnya.
“Tanah bukan sekadar lahan. Ia adalah nadi bangsa. Ketika nadi bangsa dikuasai segelintir orang, maka rakyat hanya jadi penonton di tanahnya sendiri.”
Kontras yang Menyakitkan
Di satu sisi, rakyat kecil jungkir balik mengurus selembar sertifikat warisan di kantor BPN. Di sisi lain, korporasi raksasa menguasai ribuan hektare hanya dengan selembar risalah dan tanda tangan pejabat.
Hati Karpet Merah
“Inilah ironi agraria kita: rakyat menunggu bertahun-tahun di depan loket, sementara raksasa bisnis dijamu karpet merah birokrasi.”
Penyelidikan Terus Bergulir
Meski Kejati Sumut sudah membuka penyelidikan sejak 2022, hingga kini publik masih menanti: apakah kasus ini akan berakhir di meja hijau atau justru tenggelam di meja gelap kekuasaan?
Bagi pemerhati agraria, kasus ini bukan sekadar soal angka hektare, tapi soal kedaulatan bangsa atas tanahnya sendiri.
“Tanah adalah akar bangsa. Bila akar itu tercabut dan dijual, maka generasi mendatang hanya akan tumbuh sebagai daun kering yang mudah diterbangkan angin kuasa.”
“Tanah adalah kitab suci bangsa. Bila kitab itu dijual ke meja korporasi dan dimeteraikan oleh tangan pejabat, maka yang lahir bukan pembangunan, melainkan pengkhianatan. Di tanah yang seharusnya menumbuhkan harapan, justru tumbuh istana beton bagi segelintir elit, sementara rakyat dibiarkan jadi pengungsi di negeri sendiri.” 🔥 (Srisahati/Nurlince Hutabarat)