Renville Napitupulu Sindir Pemko Medan: “Kalau Begini, 60 Tahun Lagi Pun Banjir Belum Tentu Surut!” Kata Sang Legislator Tentang Lambannya Penanganan Banjir di Kota Medan
Medan, Noktah Sumut com— Persoalan banjir di Kota Medan tampaknya akan terus menjadi kisah lama yang tak kunjung usai. Bukan tanpa alasan, Anggota DPRD Medan Renville P. Napitupulu menilai, dengan kemampuan keuangan daerah yang sangat terbatas, penyelesaian banjir bahkan bisa memakan waktu hingga enam dekade ke depan.
“Kalau begini caranya, 60 tahun lagi pun belum tentu banjir di Medan surut,” ujar Renville dengan nada getir usai Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi IV DPRD Medan bersama Balai Wilayah Sungai Sumatera II (BWS II) dan Dinas SDA Bina Marga dan Konstruksi Kota Medan, Senin (20/10/2025).
Menurut Ketua Fraksi PSI DPRD Medan ini, anggaran Rp50 miliar yang dimiliki Pemko Medan melalui Dinas Perkim untuk pengadaan tanah terlalu kecil jika dibandingkan dengan kebutuhan riil di lapangan.
“Anggaran segitu tidak cukup untuk menormalisasi sungai. Kalau dibagi Rp25 miliar per tahun, baru 60 tahun semua tanah bisa diganti rugi,” tegasnya.
“Berarti 60 tahun pula rakyat Medan menunggu banjir surut — itu pun belum tentu juga.”
Renville Napitupulu Tegas:
“Jangan salahkan hujan, salahkan perencanaan yang tak kunjung matang.”
“Kota ini tak butuh janji, tapi excavator yang benar-benar bekerja.”
“Normalisasi bukan hanya urusan tanah, tapi soal niat dan kemauan politik.”
“Jika Deli Serdang bisa karena tanahnya milik BUMN, Medan tersendat karena tanahnya rakyat — di sinilah letak tanggung jawab sosial pemerintah.”
“Jangan berlindung di balik alasan ganti rugi tanah, itu bukan tameng untuk ketidakmampuan.”
“Kalau Sumatera Selatan bisa pakai APBD sendiri, kenapa Medan harus menunggu belas kasih kementerian?”
“Satu ampibi cuma Rp1,5 miliar, tapi yang kita beli malah seremonial — bukan solusi.”
Renville menyoroti lemahnya koordinasi antara Pemko Medan dan BWS II, yang menurutnya menjadi penyebab utama lambannya program normalisasi sungai.
“Dalam RDP tadi, BWS menyebut pembebasan lahan di Deli Serdang sudah selesai, makanya mereka siap kontrak proyek. Medan? Masih sibuk cari alasan,” sindirnya tajam.
Ia juga menegaskan bahwa Deli Serdang dan Medan tidak bisa dibandingkan secara langsung, sebab di Deli Serdang mayoritas lahan yang dibebaskan merupakan tanah milik PTPN, alias milik negara sendiri.
“Kenapa di sana cepat? Karena yang dibebaskan tanah pemerintah sendiri. Di Medan, tanahnya rakyat kecil. Jadi jangan samakan dan jangan salahkan masyarakat,” ujar Renville.
Desakan Solusi: Gunakan APBD Sendiri
Dalam forum tersebut, Renville menyarankan agar Pemko Medan berani menggunakan APBD sendiri untuk pembebasan lahan, tanpa terus menunggu kucuran dari kementerian. Ia mencontohkan Provinsi Sumatera Selatan yang telah menerapkan langkah serupa.
“Mereka (Sumsel) beli ampibi cuma Rp1,5 miliar pakai APBD. Di Medan, anggaran sampai Rp150 miliar untuk proyek yang tak jelas manfaatnya. Ini ironi,” kritiknya.
Menurutnya, Pemko Medan perlu berpikir realistis dan berorientasi pada hasil, bukan sekadar rencana tanpa aksi.
“Kalau alat berat saja kita kekurangan, bagaimana mau bicara normalisasi sungai? Di Medan hanya ada dua ampibi, dan itupun bantuan dari kementerian. Sementara provinsi lain sudah mandiri,” pungkasnya.
Penutup: Antara Janji dan Realita
Pernyataan Renville Napitupulu menampar kesadaran banyak pihak bahwa penanganan banjir bukan sekadar proyek infrastruktur, tapi ujian integritas pemerintah kota dalam mengelola anggaran dan menempatkan kepentingan rakyat di atas segalanya.
“Kita tidak sedang melawan air, kita sedang melawan kebiasaan lambat dalam mengambil keputusan,” imbunya menutup. (Sri Sahati)
