SIARAN PERS BERSAMA
WALHI & HKBP: “Cuci Tangan Tidak Menghapus Lumpur Dosa Ekologis TPL”
TARUTUNG / MEDAN, Noktah Sumut.com — Menanggapi pernyataan Direktur PT Toba Pulp Lestari (TPL), Janres Silalahi, yang menyesalkan seruan penutupan TPL oleh Ephorus HKBP, kami—Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP)—menyatakan sikap tegas: retorika statistik tidak bisa menggantikan tanggung jawab ekologis.
Seruan Ephorus HKBP Pdt Dr Victor Tinambunan bukan emosi sesaat, tetapi seruan iman dan tanggung jawab moral terhadap bumi, air, dan manusia Batak yang terancam oleh operasi industri serat kayu selama lebih dari tiga dekade.
“Cuci Tangan” Tak Menghapus Luka Alam
Pernyataan Janres Silalahi yang menyebut TPL “telah berbenah, menggandeng 9 UMKM, menyejahterakan 13.000 tenaga kerja, dan berinvestasi selama 33 tahun” hanyalah bentuk pencitraan korporasi yang menutup mata terhadap fakta di lapangan:
kerusakan hutan, banjir bandang, rusaknya tanah ulayat, dan konflik sosial yang menahun.
“Tidak ada pabrik yang bisa berdiri di atas air mata rakyat. Tidak ada investasi yang sah jika bumi yang jadi tumbalnya,” ujar Juru Bicara WALHI Sumut.
- Audit dan SK Tak Menyelamatkan Moral
Janres menyebut TPL telah diaudit, menjaga 46.000 hektar hutan lindung, dan beroperasi sesuai SK kehutanan seluas 269.000 hektar yang kini menyusut jadi 127.000 hektar.
Namun, audit dan SK bukanlah surat baptis moral. Faktanya, konflik dengan masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta, Natumingka, dan Parsoburan masih membara hingga kini.
“Hukum boleh ditegakkan di atas kertas, tapi nurani tegak di atas tanah dan pohon yang masih hidup,” ujar Ephorus HKBP dalam pernyataannya.
- HKBP Takkan Mundur
(Tak Ada Gigi Atrek)
Gereja HKBP menegaskan bahwa seruan “Tutup TPL!” bukan hanya aksi protes, melainkan tindakan pastoral ekologis untuk menyelamatkan ciptaan Allah di Tanah Batak.
Ketika gereja bersuara, itu artinya alam sudah berteriak lebih dulu.
HKBP menyerukan agar Presiden dan Menteri Lingkungan Hidup segera meninjau ulang izin dan praktik operasional TPL yang terbukti menimbulkan kerusakan sosial-ekologis sistemik.
🤝 4. Win-Win Solution Hanya Mungkin Jika Alam Menang
Kami menghargai pernyataan Janres tentang keinginan “mengadakan pertemuan terbuka.”
Namun, kami tegaskan: tidak ada win-win solution selama hutan terus hilang dan rakyat terus kehilangan tanah.
Pertemuan yang dimaksud haruslah forum kebenaran ekologis, bukan panggung pencitraan korporasi.
🩸 WALHI & HKBP: Satu Suara untuk Tanah Batak
Kami menyerukan seluruh elemen masyarakat, akademisi, mahasiswa, dan tokoh adat untuk bergandengan tangan melawan kehancuran ekologis.
Seruan ini bukan tentang menutup industri, tetapi membuka kesadaran bangsa bahwa kedaulatan lingkungan adalah harga mati.
✊ Perlawanan Guna: Tutup TPL
“Cinta pada tanah air dimulai dari menjaga tanah dan airnya.”
“Tak ada audit yang bisa memutihkan dosa ekologis.”
“Korporasi mencetak laporan, rakyat mencatat penderitaan.”
“Tiga dekade menanam eukaliptus, tapi yang tumbuh justru air mata.”
“HKBP bersuara bukan untuk melawan, tapi untuk menyelamatkan.”
“Yang dirusak bukan hanya hutan, tapi kepercayaan.”
“Tak ada investasi seharga sehelai daun yang gugur sia-sia.”
“Cuci tangan bukan tobat; tobat itu menghentikan kesalahan.”
“TPL telah menanam kayu, tapi menebang nurani.”
“Audit tak berarti jika akar kebenaran dicabut.”
“Gereja berdiri di tanah rakyat, bukan di atas saham.”
“WALHI menjaga bumi, HKBP menjaga jiwa — dua napas satu perjuangan.”
“Krisis sosial bukan alasan untuk melestarikan keserakahan.”
“Banjir tak butuh tanda tangan, tapi ia tahu siapa yang menebang.”
“Ketika bumi menangis, gereja wajib berseru.”
“Laba perusahaan tak sebanding dengan luka alam.”
“Investasi sejati adalah air bersih dan udara segar.”
“Hutan yang hilang adalah masa depan yang dirampas.”
“Seruan tutup TPL adalah doa ekologis Tanah Batak.”
“Bumi tidak butuh pembela; ia butuh penghenti perusak.”
“33 Tahun TPL: Di Balik Statistik dan Lumpur Ekologis Tanah Batak”
🌿🔥
(Redaksi)
